Wajib Pajak: Tidak Ada Keadilan dengan Kewajiban Ganda pada Pelaporan Pajak 


Wajib Pajak: Tidak Ada Keadilan dengan Kewajiban Ganda pada Pelaporan Pajak 

 

 

Sampai dengan saat ini bahwa sudah banyak Wajib Pajak (WP) baik perorangan ataupun badan usaha yang berada di kota-kota besar Indonesia masih sering mendapatkan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), disatu sisi mungkin ada perbedaan data antara WP dengan Kantor Pajak.

Misalkan seorang WP tidak ditemukan kesalahan dalam pelaporan SPT, namun bisa saja WP tersebut tetap tetap diminta untuk mendukung kinerja Pejabat pajak yang memeriksa SP2DK, agar membayar sejumlah pajak tertentu untuk mendukung kinerjanya, padahal WP tersebut tidak melakukan kesalahan administrasi atau kealfaan pelaporan SPT, namun tetap diminta membayar pajak atas sesuatu yang seharusnya tidak ada terutang pajak, disini kita bisa melihat bahwa jenis objek pajak terlalu banyak, sehingga bisa membingungkan para Wajib Pajak, apalagi yang berhubungan Pajak Penghasilan (PPh), misalkan tidak ada penghasilan, lalu bagaimana diharuskan membayar pajak penghasilan, inilah dilema bagi WP.

 

Pada akhirnya WP harus membayar pajak penghasilan atas transaksi yang tidak terutang pajak, hanya karena diminta sama Pejabat Pajak untuk mendukung kinerjanya sebagai Pejabat Pajak,  disisi lain, bisa saja terjadi pada Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan Usaha yang mengalami kealfaan (lupa) akan kewajiban pelaporan atas e-reporting,  misalkan memperoleh dividen Perseroan, namun tidak tahu akan kewajiban pelaporan e-reporting dana realisasi investasi pada periode tertentu, disini kita melihat aturan PMK bisa berbeda dengan Surat Edaran dari seorang Direktur, ini seperti penambahan aturan yang awalnya memang tidak diatur dalam PMK maupun UU HPP, jadi bagaimana WP dapat memahami akan suatu peraturan perpajakan, disini secara nyata bahwa aturan Surat Edaran dapat mengalahkan aturan  yang tercantum dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Contohnya; bagi seorang WP sudah melakukan investasi dari perolehan Dividen sesuai daftar investasi yang diatur dalam PMK 81 tahun 2021 (pasal 14 dstnya) yang menjadi persyaratan agar perolehan Dividen dibebaskan dari pengenaan pajak Dividen sebesar 10% (dalam kondisi tertentu), namun dalam prakteknya terjadi kelupaan dalam pelaporan e-reporting dana investasi tetapi sudah dilaporkan dalam SPT tahunan, disini seharusnya tidak perlu lagi menambah pekerjaan administrasi bagi wajib pajak, seharusnya Pejabat Pemerintah memberikan kemudahan dalam pelaporan perpajakan cukup terwakili dalam pelaporan SPT Tahunan dan/atau bulanan, atas kasus ini apakah keterlambatan pelaporan e-reporting harus dikenakan sebagai objek pajak penghasilan sebesar sepuluh persen.

 

 

 

Sedangkan secara De Facto dan De Jure, WP sudah melakukan investasi atas perolehan Dividen, dimana letak KEADILAN bagi WP, apakah atas keterlambatan melakukan pelaporan e-reporting atas realisasi dana investasi dari dividen tetap harus dipungut pajak dividen sebesar 10% (persen), karena dalam UU HPP  dan UU PPh tidak mencantumkan aturan pengenaan pajak atas kealfaan pelaporan administrasi?, Demi Keadilan dan tegaknya Hukum atas kealfaan pelaporan administrasi tidak dapat lagi dikenakan sebagai objek Pajak Penghasilan karena penghasilannya telah diinvestasikan sesuai dengan aturan yang berlaku khususnya UU PPh dan PMK 81 tahun 2021 dan telah dilaporkan dalam SPT Tahunan, seharusnya tidak harus dilakukan double reporting, aturan perpajakan seharusnya dibuat mudah dan tidak berulang-ulang urusan administrasi.

Dengan demikian, atas kealfaan atau keterlambatan pelaporan e-reporting secara administrasi tidak lagi dapat dikenakan pajak penghasilan karena dana yang diperoleh dari dividen sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan, apabila tidak lagi dilaporkan secara e-reporting, dan mengingat dalam pelaporan SPT tahunan sudah ada pelaporannya, maka hal ini sama saja memaksakan kehendak untuk membuat double reporting.

Atas contoh permasalahan tersebut diatas, yang berkenaan dengan kelalaian pelaporan e-reporting, seharusnya mengikuti ketentuan UU Perpajakan yang sudah ada telah diatur dengan berupa denda biaya administrasi keterlambatan pelaporan saja, sebagaimana contoh pengenaan biaya denda atau keterlambatan e-SPT PPN bulanan dikenakan denda sebesar Rp500 ribu per bulan, hal nyata bukan untuk mengenakan pajak lagi, oleh karena semua ketentuan perpajakan telah terpenuhi dan tidak dapat dikenakan pajak dalam bentuk apapun.

Oleh karenanya Pemerintah dan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya mendukung penyederhanaan pelaporan perpajakan secara administrasi yang ringkas atau tidak rumit atau dibuat sesederhana mungkin, agar dapat menciptakan iklim kewajiban perpajakan yang nyaman dan mudah diaplikasikan atau dimengerti, sehingga perlu direvisi akan peraturan perpajakan yang rumit berkenaan dengan urusan administrasi perpajakan, agar para WP menjadi  lebih mudah paham dan melakukan kewajiban perpajakan secara tepat dan benar.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *