Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia (Bagian 1 dari 5)
Oleh : Benny G.Setiono
Pembunuhan
massal etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740.
Apa yang dikuatirkan penguasa
Belanda menjadi kenyataan, pada tahun 1740 terjadi pembunuhan
massal terhadap orang Tionghoa di Batavia. Penguasa Belanda di
bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengeluarkan
peraturan permissiebriefje atau surat ijin menetap bagi orang
Tionghoa dan sebuah Resolusi “bunuh atau lenyapkan” Resolusi ini
memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang “mencurigakan”
tanpa perduli apakah mereka mempunyai surat ijin atau tidak,
harus ditangkap dan diperiksa, apabila ternyata tidak mempunyai
penghasilan atau menganggur, harus pulang ke Tiongkok atau
dibuang ke Cylon (Sri Lanka) dan ke Tanjung Harapan untuk
bekerja di perkebunan dan pertambangan sebagai kuli.[4]
Ternyata kebijaksanaan ini
menimbulkan implikasi yang sangat negatif. Ribuan etnis Tionghoa,
bukan hanya penganggur dan bandit-bandit kriminal, tetapi para
pedagang dan orang baik-baik lainnya ditangkap dengan paksa dan
dengan kekerasan dimasukkan ke kapal-kapal yang akan membawanya
ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan rumah etnis Tionghoa
dengan dalih mencari senjata sering kali disertai penganiayaan
dan perampasan barang berharga.
Pejabat-pejabat Belanda juga
mempergunakan kesempatan ini untuk memeras orang-orang Tionghoa
kaya yang dimintai uang dalam usaha mendapatkan surat ijin,
untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan keresahan di
kalangan etnis Tionghoa. Kabar angin segera berhembus bahwa
orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya
dan dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari
Batavia di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut. Akibatnya
situasi menjadi sangat tegang dan orang-orang Tionghoa yang
resah kemudian berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok yang
mempersenjatai diri untuk membela diri dan melawan perbuatan
Belanda yang sewenang-wenang tersebut.
Untuk menumpas perlawanan
orang-orang Tionghoa tersebut, penguasa Belanda bertindak dengan
sangat kejam. Orang-orang Belanda dengan serdadu bayarannya
dengan dibantu para budak, kelasi kapal dan gelandangan
memburu orang-orang Tionghoa dari rumah ke rumah. Setiap orang
Tionghoa yang ditemuinya, tidak perduli laki-laki atau perempuan,
tua maupun muda, bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu
dibantai dengan sadis dan di luar batas peri kemanusiaan.
Barang-barang mereka dijarah kemudian rumahnya dibakar. Demikian
juga para tahanan dan pasien rumah sakit diseret keluar dan
dibunuh dengan sangat kejam.
Aksi pembunuhan tersebut
berlangsung selama dua minggu dan menelan korban lebih dari
10.000 orang etnis Tionghoa. Seluruh etnis Tionghoa yang tinggal
di dalam kota oleh orang-orang Belanda telah disapu bersih.
Inilah peristiwa pembunuhan massal yang pertama sepanjang
sejarah terhadap perantau Tionghoa yang dilakukan secara brutal.
Baru dua minggu kemudian
Gubernur Jenderal Valckenier menghentikan perbuatan keji
tersebut. Amnesti bagi semua orang Tionghoa diumumkan, peraturan
surat ijin dihentikan. Orang-orang Tionghoa diharuskan tinggal
di tempat tersendiri (ghetto) di luar tembok kota, agar
pemerintah dapat mengawasi kegiatan mereka. Perlahan-lahan
orang-orang Tionghoa yang telah melarikan diri, kembali ke
Batavia. Menurut Cator dalam bukunya “Economic Position of
Chinese”, setelah amnesti tersebut masih tersisa 3.341 orang
Tionghoa di Batavia, termasuk 1.442 orang pedagang, 935 orang
pengolah tanah dan tukang kebun, 728 orang pekerja di perkebunan
tebu dan perkayuan dan 236 orang tukang kayu dan batu.[5]
Setelah kejadian tersebut
terjadi kegemparan di kalangan orang-orang Belanda terutama para
anggota Dewan Hindia yang sangat terkejut dengan apa yang
terjadi. Mereka saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab
dalam peristiwa pembunuhan etnis Tionghoa (Chinezenmoord) ini
dan menuding Gubernur Jenderal Valckenier yang paling
bertanggung jawab. Mereka juga merasa kuatir akan pembalasan
yang datang bukan saja dari etnis Tionghoa yang ada di Batavia,
tetapi juga dari pemerintah Tiongkok. Untuk mengantisipasinya
mereka menulis surat kepada Kaisar Tiongkok, meminta
pengertiannya atas tindakan mereka terhadap “bandit-bandit”
Tionghoa yang telah mengganggu ketentraman penduduk Batavia,
walaupun diakuinya bahwa banyak orang Tionghoa yang tidak
bersalah telah menjadi korban.
Namun ternyata Kaisar
Qianlong (1736-1795) dari dinasti Qing secara mengejutkan
menjawab, ia merasa prihatin bahwa warganya yang karena memburu
harta kekayaan, telah meninggalkan negaranya tanpa mengingat
akan kuburan leluhurnya dan pantas mendapatkan hukuman.
Sikap dan kebijaksanaan
Kaisar Qianlong ini untuk pertama kalinya membuktikan bahwa
etnis Tionghoa yang telah melakukan diaspora ke berbagai negara
sama sekali tidak dapat mengandalkan atau menggantungkan diri
kepada negara leluhurnya. Bukannya melakukan protes dan
memberikan pelajaran kepada penguasa Belanda di Batavia, malahan
menyalahkan orang-orang Tionghoa yang terpaksa meninggalkan
negaranya karena menghadapi kesulitan, bencana alam dan perang
atau dalam rangka memajukan perdagangan internasional.[6]
Seperti diketahui dengan
runtuhnya Dinasti Ming pada tahun 1644 dan naiknya Kaisar
Shunzhi (1644-1661) dari Dinasti Qing (1644-1911) dimulailah
masa penjajahan daratan Tiongkok oleh bangsa Manchu. Karena pada
awal masa pemerintahan Kaisar Shunzhi masih terdapat perlawanan
dari orang-orang Tionghoa, maka untuk menghancurkan martabat dan
jati diri bangsa Tionghoa tersebut, ia memerintahkan seluruh
bangsa Tonghoa untuk memakai taochang atau kuncir dan
mewajibkan pembesar-pembesar Tionghoa dan rakyat Tiongkok
mengenakan semacam pakaian, yang kedua ujung bajunya berbentuk
kaki kuda dan bagian punggungnya disulam gambar pelana kuda.
Dengan berpakaian semacam itu setiap orang Tionghoa yang memakai
kuncir pada waktu berlutut, tampak persis seekor kuda dengan
kuncir yang menjuntai bagaikan ekor kuda di pantatnya.[7]
Sungguh penghinaan yang luar biasa !
Sikap yang berbeda
ditunjukkan oleh Khubilai Khan (1279-1294) dari dinasti Yuan
yang segera mengirimkan pasukannya ke Jawa untuk memberikan
pelajaran kepada Raja Kertanegara dari Singosari, setelah
mendapatkan laporan dari utusannya Meng Chi yang menerima
penghinaan dari raja tersebut dengan cara merusak muka dan
memotong kedua telinganya dan mengusirnya kembali ke daratan
Tiongkok. Kubilai Khan merasa terhina dan marah karena utusannya
diperlakukan semacam itu.[8]
Pelajaran apa yang dapat kita
peroleh dari kedua kejadian tersebut ? Demi kepentingan politik
dan ekonomi Tiongkok, nasib etnis Tionghoa di perantauan bisa
saja diabaikan atau dikorbankan.
Pembunuhan massal (genocide)
etnis Tionghoa ini merupakan pembunuhan perantau Tionghoa yang
terbesar di sepanjang sejarah. Memang pada beberapa abad yang
lalu pernah terjadi pembunuhan perantau Tionghoa di Filipina
oleh penguasa Spanyol, tetapi tidak sehabat yang terjadi di
Batavia. Inilah kehancuran jati diri etnis Tionghoa yang pertama
di Indonesia.
Menyusul peristiwa pembunuhan
massal itu, sebagian pemuda-pemuda Tionghoa yang berhasil
meloloskan diri merasa harga dirinya diinjak-injak dan
semangatnya bangkit kembali untuk melawan perbuatan
sewenang-wenang tersebut. Mereka kemudian berangkat ke Jawa
Tengah untuk bergabung dengan orang-orang Tionghoa di sana yang
marah atas kejadian tersebut dan membentuk pasukan-pasukan
perlawanan terhadap Belanda. Kemudian mereka bersekutu dengan
Sunan Paku Buwono II dan Pangeran-pangeran Jawa yang anti
Belanda. Mereka berhasil mengepung pasukan Belanda di kota
Semarang sampai berbulan-bulan lamanya. Mereka juga berhasil
membakar kraton Kartasura ketika Sunan Paku Buwono II
berkhianat dan memihak Belanda. Kalau saja tidak dibantu oleh
Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan Belanda
pasti berhasil diusir dari Jawa dan jalannya sejarah akan
berbeda. Setelah berlangsung tiga tahun lamanya, pemberontakan
etnis Tionghoa bersama etnis Jawa tersebut berhasil ditumpas.
Meskipun gagal namun pemberontakan ini telah membuktikan
bahwa etnis Tionghoa juga turut mengisi lembaran sejarah bangsa
Indonesia dalam perjuangan bersenjata mengusir penjajah Belanda.[9]
Setelah pemberontakan itu,
penguasa Belanda menyadari bahwa posisi etnis Tionghoa di Jawa
sangat penting. Etnis Tionghoa dapat digunakan untuk
mengkokohkan kekuasaan mereka terutama memajukan bidang
perdagangan. Mereka adalah pedagang-pedagang pengumpul hasil
pertanian dan eceran yang ulet dan rajin bekerja. Mereka juga
merupakan tukang-tukang yang ahli dalam berbagai macam pekerjaan.
Seperti yang dinyatakan J.P.Coen sebelumnya, mereka harus
bekerja sama dengan etnis Tionghoa bukan memusuhinya.
Namun kenyataan membuktikan
bahwa etnis Tionghoa yang keberadaannya di Jawa telah
berlangsung ratusan tahun, pengaruhnya telah berakar di kalangan
penduduk setempat. Etnis Tionghoa pandai menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana mereka berdiam dan hidup rukun dengan
penduduk setempat. Hubungannya dengan raja-raja dan
Pangeran-pangeran Jawa dapat membahayakan posisi Belanda, oleh
karena itu etnis Tionghoa harus digunakan untuk kepentingan
Belanda. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa tindakan pertama
yang harus diambil adalah memisahkan etnis Tionghoa dari
penduduk pribumi.
Mulai saat itu diberlakukan
wijkenstelsel, peraturan yang mengharuskan orang-orang Tionghoa
bermukim di tempat yang sudah ditentukan (ghetto) agar
kegiatannya mudah diawasi. Ghetto-ghetto inilah yang kemudian
berkembang menjadi pecinan (China Town). Untuk keluar atau
berpergian dari daerah pecinan, mereka harus meminta ijin dari
penguasa Belanda terlebih dahulu yang diatur dalam sebuah
peraturan yang disebut passenstelsel. Peraturan-peraturan yang
sangat rasis ini menjadi awal politik segregasi Belanda untuk
memisahkan etnis Tionghoa dengan penduduk setempat.
Sebaliknya untuk merangkul
etnis Tionghoa yang akan dijadikan partner dan bumper terhadap
etnis Jawa, tokoh-tokoh komunitasTionghoa (para opsir Tionghoa)
tertentu diberi hak untuk memungut pajak tol jalan, jembatan,
pasar dsbnya. Demikian juga mereka diberi ijin untuk
menyelenggarakan rumah-rumah judi, tempat penghisapan candu,
rumah pelacuran, monopoli perdagangan garam dsbnya. Selama
ratusan tahun seluruh bisnis yang kotor dan merusak serta tidak
populer di mata penduduk setempat diberikan kepada etnis
Tionghoa, sehingga menimbulkan antipati yang mendalam di
kalangan pribumi Indonesia yang dampaknya hingga kini masih
dirasakan.
Sebelumnya Kaisar Tiongkok
mengeluarkan pengumuman yang melarang seluruh pelayaran ke
Nanyang dan menghentikan pembangunan jung-jung yang akan
mengarungi lautan. Pedagang dan pelaut yang membangkang dan
melanggar peraturan tersebut akan ditangkap dan dibunuh.
Peraturan ini dikeluarkan disebabkan banyaknya gangguan dari
pemberontak anti dinasti Qing di bawah pimpinan Koxinga (Zheng
Zhilong). Akibatnya selama lebih dari seratus tahun jumlah orang
Tionghoa yang melakukan diaspora ke berbagai negara menyurut.
Orang-orang Tionghoa yang
berdiam di Jawa walaupun telah dipisahkan dari penduduk setempat
namun karena dibutuhkan penguasa Belanda untuk menjadi pedagang
perantara dan pengecer, tetap saja hidup membaur dengan penduduk
setempat. Apalagi kebanyakan dari mereka telah mengambil istri
orang-orang pribumi setempat dan keturunannya telah menjadi
peranakan yang pada umumnya tidak lagi mampu berbahasa Fujian,
malahan mereka telah mengadaptasi bahasa dan kebiasaan ibunya
yang pribumi. Namun pada umumnya secara turun-temurun mereka
masih memegang teguh budaya, kepercayaan dan tradisi leluhurnya.
Dengan adanya larangan dari
Kaisar Tiongkok dan penguasa Belanda, maka selama lebih dari
seratus tahun nyaris tidak ada migrasi etnis Tionghoa dari
daratan Tiongkok ke Indonesia yang cukup berarti. Etnis Tionghoa
di Jawa hampir seluruhnya adalah peranakan yang sudah tidak
mampu lagi berbahasa Tionghoa/Fujian. Pada masa Perang Jawa
(1825-1830) tidak sedikit etnis Tionghoa yang ikut bergabung
dengan pasukan Pangeran Diponegoro melawan pasukan Belanda.
Namun setelah Perang Jawa usai, seperti juga etnis Jawa dengan
para Sultannya, etnis Tionghoa pada umumnya telah berhasil
dijinakkan dan sepenuhnya tunduk kepada penguasa Belanda.
Sebagai puncak politik
segregasinya, pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan yang membagi-bagi penduduk Hindia Belanda
menjadi tiga golongan. Yang pertama golongan orang Eropa
termasuk ke dalamnya orang-orang Indo Eropa. Yang kedua golongan
Vreemde Oosterlingen atau orang Timur Asing yang terdiri dari
orang Tionghoa, Arab dan orang Asia lainnya. Yang ketiga
golongan inlander atau pribumi. Ketiga golongan ini tunduk
kepada sejumlah undang-undang yang berbeda dan diadili di
pengadilan yang berbeda-beda pula. Dengan demikian status hukum
etnis Tionghoa berada di tengah-tengah, antara orang Eropa dan
pribumi. Tetapi dalam hal perdagangan sejak awal VOC bagi etnis
Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum
tersebut masih dapat diterapkan. Hukum Perdata Belanda berlaku
sepenuhnya untuk urusan perdagangan orang Tionghoa. Untuk urusan
keluarga seperti soal perkawinan, pergundikan, garis keturunan
dan adopsi diatur oleh hukum adat mereka sendiri. Anehnya bila
menghadapi masalah pidana, orang Tionghoa harus dibawa ke
politie-roll (pengadilan polisi tanpa hak banding) untuk perkara
kriminil kecil atau landraad (pengadilan pribumi) untuk
perkara-perkara berat dan bukan ke Raad van Justitie seperti
golongan Eropa. Jadi dalam hal ini golongan Tionghoa disamakan
dengan golongan pribumi.
Untuk mendukung kebijaksanaan
ini pada tahun 1883, pemerintah Kerajaan Belanda dan pemerintah
Kerajaan Tiongkok telah menanda-tangani perjanjian extra
teritorial yang memberi hak dan wewenang kepada pemerintah
Belanda untuk membentuk pengadilan dan institusi-institusi
lainnya sendiri yang tidak tunduk kepada hukum Tiongkok dan
memberi ijin kepada misi-misi Kristen untuk menyebarkan agamanya
di seluruh daratan Tiongkok. Sebaliknya karena demikian lemahnya
pemerintahan Kerajaan Tiongkok sehingga kantor Konsulat pun
dilarang dibuka di Hindia Belanda. Akibatnya sebagai warga
negara asing, etnis Tionghoa di Hindia Belanda tidak memperoleh
perlindungan sama sekali dari pemerintah Kerajaan Tiongkok.
Politik segregasi pemerintah
kolonial Hindia Belanda ini menjadi salah satu sebab utama
timbulnya masalah Tionghoa yang akibatnya kita rasakan sampai
sekarang. Dipisah-pisahkannya kedudukan hukum penduduk Hindia
Belanda berdampak sangat buruk bagi hubungan antar penduduk dan
menimbulkan banyak masalah antara etnis Tionghoa dan pribumi.
Inilah yang menjadi tujuan utama pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
- Bagian
1 | 2 |
3 |
4 |
5 - |