Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia (Bagian 4 dari 5)
Oleh : Benny G.Setiono
Puncak
kehancuran martabat dan jati diri etnis Tionghoa.
Puncak kehancuran martabat
dan jati diri etnis Tionghoa adalah di masa pemerintahan rejim
militer pimpinan Jenderal Soeharto yang didukung AS, Inggris dan
negara-negara kapitalis/imperialis lainnya. Pada masa
penumpasan G30S ribuan etnis Tionghoa turut menjadi korban
penangkapan dan pembunuhan dengan tuduhan “Baperki” atau
ormas-ormas PKI lainnya. Sebenarnya mereka ditangkap hanya untuk
diperas uangnya dan dirampas harta kekayaannya, karena seperti
korban-korban penangkapan lainnya yang dituduh PKI, kaitannya
dengan kegiatan G30S ternyata tidak terbukti sama sekali.
Keterlibatan CIA dan MI-6 (dinas
rahasia Inggris) dalam melakukan provokasi anti Tionghoa telah
banyak dibuktikan oleh buku-buku yang sekarang banyak bertebaran
di toko-toko buku. Pada masa itu Amerika Serikat dan Inggris
berusaha mengobarkan sentimen anti Tionghoa dengan melakukan
provokasi dan tuduhan bahwa musuh utama bangsa Indonesia selain
PKI adalah etnis Tionghoa yang menjadi agen RRT.[17] Ditambah
oleh situasi di daratan Tiongkok yang pada masa itu sedang
berlangsung Revolusi Besar Kebudayaan di bawah pimpinan Mao
Zedong dengan dibantu “The Gang of Four” yang sangat radikal .
Seluruh sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan gedungnya diambil
alih pihak militer. Hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan,
akibatnya ratusan ribu warga negara RRT nasibnya menjadi
terkatung-katung, tanpa mendapatkan perlindungan sedikitpun dari
negaranya.
Dalam usaha menghancurkan
martabat dan jati diri etnis Tionghoa, langkah pertama yang
dilakukan rejim militer Orde Baru adalah mengganti sebutan
Tiongkok dan Tionghoa menjadi “Cina”. Usul ini sebagai hasil
Seminar Angkatan Darat ke-2 tahun 1966 di Lembang. Usul ini
kemudian ditindak lanjuti pemerintah dengan mengeluarkan
instruksi Presidium Kabinet Ampera agar sebutan Tionghoa dan
Republik Rakyat Tiongkok diganti menjadi Cina dan Republik
Rakyat Cina. Tindakan selanjutnya adalah mengeluarkan larangan
perayaan ritual kepercayaan, tradisi dan adat-istiadat Tionghoa
di luar rumah. Kemudian dikeluarkan anjuran agar nama-nama
Tionghoa diganti menjadi nama-nama Indonesia. Selanjutnya
diumumkan larangan mengimpor dan mengedarkan barang-barang
cetakan dalam bahasa Tionghoa. Ironisnya, usulan-usulan tersebut
berasal dari segelintir etnis Tionghoa sendiri, yaitu
tokoh-tokoh LPKB di bawah pimpinan K.Sindhunata.[18]
Di masa Orde Baru etnis
Tionghoa benar-benar dibuat tidak berdaya dan hanya diarahkan
untuk bergerak di bidang bisnis saja. Etnis Tionghoa
diintimidasi agar menjauhi wilayah politik. Segelintir etnis
Tionghoa dijadikan kroni untuk melakukan KKN dengan cara
menjilat-jilat para penguasa yang menimbulkan “kemuakan” seluruh
rakyat Indonesia. Perbuatan segilintir etnis Tionghoa yang
menjijikkan dalam mengejar kekayaan menyebabkan semakin
terpuruknya martabat dan jati diri etnis Tionghoa di mata rakyat.
Setiap kejahatan ekonomi
mulai dari penyelundupan, perjudian, pelacuran, narkoba,
pembobolan bank, mark up, penggusuran tanah rakyat dsbnya pasti
melibatkan segelintir etnis Tionghoa, karena semua kebijakan
tersebut dibuat rejim Orde Baru dengan tujuan menghancurkan jati
diri dan martabat serta kehormatan etnis Tionghoa. Etnis
Tionghoa sejak awal berdirinya Orde Baru memang telah disiapkan
untuk dijadikan kambing hitam, tumbal dan bumper rejim tersebut
apabila pada suatu saat menghadapi perlawanan dari rakyat
Indonesia.
Akibatnya timbul kesan di
masyarakat bahwa etnis Tionghoa adalah “monster ekonomi yang
rakus” yang semata-mata mengejar kekayaaan belaka, yang asosial
tanpa mau perduli akan nasib bangsa Indonesia. Seluruh sumbangan
etnis Tionghoa telah disedot oleh para penguasa di bawah
pimpinan Presiden Soeharto melalui berbagai yayasannya, sehingga
rakyat Indonesia tidak melihat adanya sumbangan untuk masyarakat
dari para konglomerat Tionghoa yang secara gebya uyah dianggap
mewakili seluruh etnis Tionghoa. Apalagi para konglomerat
tersebut secara ekslusif menghimpun diri di Yayasan Prasetya
Mulia, khusus untuk melayani kepentingan Presiden Soeharto.
Hubungan etnis Tionghoa
dengan golongan “pribumi” yang cukup harmonis di masa sebelum
rejim Soeharto dengan sendirinya menjadi rusak. Untuk menghadapi
persaingan dengan pengusaha Tionghoa dibentuk Himpunan Pengusaha
Pribumi Indonesia (HIPPI) yang semakin memperburuk hubungan
antara pengusaha Tionghoa dengan pengusaha pribumi. Demikian
juga dalam organisasi KADIN hampir tidak seorangpun pengusaha
Tionghoa yang menduduki posisi yang penting kecuali bendahara.
Selama pemerintahan Orde Baru
entah berapa puluh kali terjadi aksi kekerasan anti Tionghoa,
mulai dari Medan sampai ke Makassar, apalagi di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Bukan hanya kuantitas tetapi kualitas
aksi kekerasan tersebut meningkat tanpa ada tindakan dari aparat
keamanan. Terorisme telah dirasakan etnis Tionghoa sejak puluhan
tahun yang lalu tanpa ada perlindungan sedikitpun dari
pemerintah dan dunia internasional. Walaupun dari segi ekonomi
etnis Tionghoa tampak makmur namun dalam kenyataannya sepanjang
hidupnya dibayangi oleh rasa ketakutan. Jadi tidak dapat
disalahkan apabila untuk berjaga-jaga yang mempunyai cukup uang
menyimpan sebagian uangnya di luar negeri.
Akhirnya “bom waktu” yang ditanam rejim Presiden Soeharto
diledakkan pada tanggal 13-14 Mei 1998, di saat-saat
pemerintahannya sedang sekarat menghadapi tuntutan seluruh
rakyat Indonesia agar ia segera lengser dari kekuasaannya. Namun
aksi teror tersebut bagaikan tarikan nafas terakhir orang yang
sedang sekarat, pada tanggal 21 Mei 1998 ia dengan “sukarela” (baca
terpaksa) lengser dari jabatannya. Di saat-saat terakhir
tersebut bukan hanya para mahasiswa, namun para menteri dan
penjilat utamanya, Ketua DPR/MPR turut mendesaknya agar ia
lengser dan menyerahkan kekuasaannya. Tepatlah apa yang
dikatakan Soegiarso Soerojo “ Siapa Menabur Angin Akan Menuai
Badai”.
- Bagian
1 |
2 |
3 | 4 |
5 - |