Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis
Tionghoa Di Indonesia (Bagian 3 dari 5)
Oleh : Benny G.Setiono
Masa Kebangkitan Etnis
Tionghoa di awal abad ke-20.
Akibat berkembangnya
kapitalisme dan liberalisme di Eropa, pada tahun 1870
diterbitkan Undang-undang yang membuka pulau Jawa bagi investasi
swasta dengan menjamin keamanan dan kebebasan mereka. Hanya
orang pribumi yang boleh memiliki tanah, tetapi orang-orang
asing boleh menyewa tanah (erf-pach) dari pemerintah untuk
jangka waktu tujuh puluh lima tahun dan dari pribumi paling lama
dua puluh lima tahun. Orang-orang Tionghoa yang termasuk Timur
Asing juga tidak boleh memiliki tanah, sehingga mereka harus
berusaha melalui orang-orang pribumi yang bekerja sama dengan
mereka. Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menjalankan
kebijaksanaan laissez faire menyebabkan terjadinya perubahan
dari sistim monopoli negara menjadi sistim persaingan bebas,
diikuti dengan perkembangan dan pertumbuhan bank-bank kolonial.
Dengan serentak
pengusaha-pengusaha swasta Eropa membuka perkebunan secara
besar-besaran untuk memenuhi permintaan pasar internasional
antara lain kopi, teh, tembakau, karet, kina dllnya. Demikian
juga dengan pertambangan-pertambangan terutama timah di pulau
Bangka dan Bilitung. Ekspor swasta pada tahun 1860 kira-kira
sama besarnya dengan ekspor pemerintah tetapi pada tahun 1885,
ekspor swasta menjadi sepuluh kali lebih besar dari ekspor
pemerintah.
Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja di perkebunan-perkebunan dan
pertambangan-pertambangan tersebut maka didatangkanlah secara
besar-besaran tenaga-tenaga kerja dari daratan Tiongkok. Hal ini
dimungkinkan karena pada tahun 1860, pemerintah Kerajaan
Tiongkok (dinasti Qing) mengeluarkan maklumat yang memberikan
ijin orang-orang Tionghoa yang ingin merantau meninggalkan
daratan Tiongkok. Padahal sejak tahun 1717 semua orang Tionghoa
yang berada di perantauan dipanggil kembali untuk pulang ke
Tiongkok dan pada tahun 1726, seluruh imigran yang belum pulang
dilarang untuk kembali ke Tiongkok.[10] Baru pada tahun 1898
pemerintah Kerajaan Tiongkok dengan resmi mencabut larangan para
imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok, walaupun
sebelumnya telah banyak orang Tionghoa yang pulang ke kampung
halamannya.[11]
Puncak migrasi orang-orang
Tionghoa ke Hindia Belanda adalah pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20 sampai menjelang Perang Dunia ke II. Pada masa itu,
setelah merasa mapan di tempat yang baru, mereka mendatangkan
istri atau perempuan-perempuan Tionghoa dari kampung halamannya
masing-masing untuk diajak hidup bersama dan membangun keluarga
di tempat baru tersebut. Hal ini juga dipermudah dengan
beroperasinya kapal-kapal motor yang lebih aman dan murah. Mulai
masa inilah etnis Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi
kelompok “peranakan” dan “totok”.[12] Jumlah kelompok totok
bertambah dengan sangat menyolok dan perlahan-lahan mulai
menggeser peranan kelompok peranakan di dunia perdagangan.
Karena hampir dua ratus
tahun terpisah dengan tanah leluhurnya, kelompok peranakan
Tionghoa di Hindia Belanda boleh dikatakan telah membaur dengan
masyarakat setempat, walaupun masih memegang teguh adat istiadat
dan tradisi yang di bawa dari daratan Tiongkok. Namun pada
umumnya mereka tidak dapat lagi bercakap-cakap dalam
bahasaTionghoa/Fujian.
Pelaksanaan Politik Etis yang
mereka rasakan tidak adil karena tidak menyentuh kelompok mereka
dan timbulnya gerakan pembaruan di Tiongkok memberikan dorongan
dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan perlunya
pendidikan, persatuan dan adanya organisasi yang dapat
mengangkat kehidupan mereka. Pada saat bersamaan di Asia
berkembang gerakan Tiongkok Raya (Pan China) yang pengaruhnya
mengimbas ke Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1900, di
Batavia atas prakarsa beberapa orang-orang peranakan Tionghoa,
berdiri sebuah perkumpulan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe
Koan yang mendirikan sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa
(Tiong Hoa Hak Tong) di seluruh Hindia Belanda.[13] Maka mulai
saat itu dimulailah masa yang disebut masa kebangkitan etnis
Tionghoa di Hindia Belanda, yang kelak akan memberikan pengaruh
besar kepada gerakan kebangkitan nasional Indonesia.
Berdirinya ratusan
sekolah-sekolah Tionghoa yang juga mengajarkan kembali
nilai-nilai budaya Tionghoa (resinifikasi) dengan cepat
membangkitkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan
masyarakat Tionghoa. Ditambah lagi dengan terbitnya surat-surat
kabar Melayu Tionghoa dan berkembangnya pers peranakan Tionghoa
yang memainkan peranan yang sangat penting dalam membakar
semangat nasionalisme Tiongkok tersebut.
Pada tahun 1907-1908 telah
terbentuk “Siang Hwee” atau Kamar Dagang Tionghoa di berbagai
kota di Jawa. Walaupun Siang Hwee dibentuk oleh gabungan
golongan peranakan dan totok, namun ternyata golongan totok
berperan lebih besar dalam organisasi dagang ini. Juga pada
tahun 1907, “T’ung-meng Hui” (perhimpunan yang disumpah bersama,
partai revolusioner Dr.Sun Yat Sen) membentuk cabang di Batavia.
T’ung-meng Hui kemudian mengganti namanya menjadi “Chi-nan She”
(Perkumpulan Perantau Nanyang) dan mendirikan taman-taman bacaan
atau “Soe Po Sia” yang bertujuan menyebarkan doktrin-doktrin dan
ajaran-ajaran revolusioner Dr.Sun Yat Sen. Kalau Tiong Hoa Hwe
Koan dipimpin oleh orang-orang peranakan, maka
organisasi-organisasi lainnya seperti Siang Hwee, Soe Po Sia,
T’ung-meng Hui dipimpin oleh orang-orang totok. Sejak masa
inilah masalah dikotomi totok dan peranakan timbul dalam setiap
organisasi Tionghoa di Indonesia.
Sejak akhir abad ke-19
pemerintah dinasti Qing mulai menaruh perhatian kepada
orang-orang Tionghoa perantauan, termasuk yang berada di Hindia
Belanda yang dinilai mempunyai potensi besar, baik di bidang
politik maupun keuangan. Orang-orang Tionghoa perantauan ini
kalau diperhatikan akan dapat memberikan dukungan yang besar,
terutama di bidang keuangan bagi kelangsungan pemerintahan
Kerajaan Tiongkok. Untuk itu dikirim beberapa orang pejabat
untuk memajukan dan mengawasi pendidikan anak-anak Tionghoa dan
memberikan beasiswa untuk belajar di Tiongkok serta mendirikan
sebuah sekolah khusus untuk menampung anak-anak Tionghoa
perantauan. Sekolah tersebut didirikan di Nanjing pada tahun
1906 dan diberi nama “Kay Lam Hak Tong”. Pada tahun 1908, atas
pertanyaan L.H.W.Sandick, anggota Raad van Justitie, pengurus
Tiong Hoa Hwe Koan Batavia menyatakan bahwa ada 111 orang murid
T.H.H.K. yang dikirim belajar ke Nanjing dengan bantuan
pemerintah Kerajaan Tiongkok.[14]
Pada tahun 1907, Assisten
Sekretaris Departemen Pertanian Yuan Shih-tshi mengunjungi
Hindia Belanda untuk mempelajari masalah-masalah perdagangan dan
sebagai hasil kunjungannya tersebut, banyak usul dan petisi yang
dikirim ke Beijing untuk kepentingan orang-orang Tionghoa di
Hindia Belanda, terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1908
Wang Kang-ky, sekretaris delegasi Kerajaan Tiongkok di The
Hague, melakukan perjalanan ke Hindia Belanda untuk beberapa
bulan lamanya. Di Surabaya ia melakukan sensus setengah resmi
dan memberikan rekomendasi bahwa orang-orang Tionghoa di Hindia
Belanda harus memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Belanda.
Pada tahun 1909, dua kapal perang Kerajaan Tiongkok merapat di
pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, membawa Wa Ta-cheng,
Sekretaris Departemen Pendidikan yang untuk beberapa waktu
lamanya mempelajari kondisi perdagangan di Hindia Belanda. Pada
tahun 1910, Chao T’sun-fan, Penasihat Departemen Pertanian,
Industri dan Perdagangan datang dengan maksud yang sama.
Perkembangan sekolah-sekolah
T.H.H.K. dan tumbuhnya nasionalisme Tiongkok di kalangan
masyarakat Tionghoa, ditambah dengan usaha-usaha pemerintah
Kerajaan Tiongkok untuk mendekati para perantau Tionghoa
menimbulkan kekuatiran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Untuk
mengantisipasinya, dibentuk Biro Urusan Tionghoa yang bertugas
memberikan masukan dan nasihat kepada pemerintah untuk
melaksanakan politik yang tepat dalam menghadapi masalah
Tionghoa. Anggota Biro ini antara lain L.H.W. van Sandick dan
P.H.Fromberg yang kemudian mendesak pemerintah agar membuka
sekolah-sekolah untuk anak-anak Tionghoa. Pada tahun 1907,
pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka Holland Chineesche
School (HCS) dan kemudian sekolah-sekolah lanjutan antara lain
MULO, HBS, HCK dsbnya. Sekolah-sekolah ini berhasil menarik
minat golongan peranakan yang berpendapat lulusan sekolah
Belanda ini lebih mudah memperoleh pekerjaan. Dengan dibukanya
sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda ini, pemerintah
kolonial Hindia Belanda berhasil mempertajam perpecahan di
antara golongan peranakan dan totok.
Selanjutnya pada tahun 1907,
pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan undang-undang
yang memungkinkan orang Tionghoa mengajukan permohonan untuk
memperoleh persamaan status hukum dengan golongan Eropa (gelijkstelling).
Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan status Eropa
tersebut antara lain, fasih berbahasa Belanda, mempunyai
kekayaan yang cukup dan harus mengikuti wajib militer. Di
samping itu pemohon harus dengan tegas menyatakan secara
tertulis bahwa ia sudah tidak cocok lagi hidup di kalangan
masyrakat Tionghoa. Lengkaplah usaha pemerintah kolonial Hindia
Belanda untuk memecah-belah etnis Tionghoa.
Untuk menghadapinya, pada
tahun 1909 pemerintah Kerajaan Tiongkok mengeluarkan
Undang-undang Kebangsaan yang menyatakan bahwa seluruh orang
keturunan Tionghoa atau setiap anak yang sah maupun tidak sah
dengan seorang ayah Tionghoa (atau seorang ibu Tionghoa apabila
ayahnya tidak diketahui) adalah berkebangsaan Tiongkok (azas jus
sanguinus). Sudah tentu hal ini menimbulkan kegoncangan di
kalangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Untuk menandinginya, pada
tanggal 10 Februari 1910, pemerintah Kerajaan Belanda
mengumumkan berlakunya “Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap”
(WNO) atau Undang-undang tentang Kawula Belanda (Ned.Stbl.
No.55). WNO menyatakan bahwa seluruh orang Tionghoa yang telah
menjadi keturunan kedua yang lahir di Hindia Belanda adalah
kawula Belanda ( azas jus soli). Akibatnya timbul masalah
dwi-kewarganegaraan, karena kedua pemerintah tersebut mengklaim
bahwa seluruh orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda
menjadi warganya. Masalah dwi-kewarganegaraan ini terus
berlanjut sampai ditanda-tanganinya Perjanjian
Dwi-kewarganegaraan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1955.
Setelah dilakukan serangkaian
perundingan, akhirnya kedua pemerintah pada tahun 1911
menanda-tangani Perjanjian Konsuler (Traktat) yang isinya
menyatakan bahwa Pemerintah Kerajaan Tiongkok mengakui bahwa
orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda selama berada di
negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya tunduk kepada
Undang-undang Belanda, tetapi mereka bebas untuk memilih
kebangsaan mereka apabila mereka meninggalkan wilayah kekuasaan
Belanda. Sebaliknya Pemerintah Kerajaan Belanda menyetujui
dibukanya Konsulat Tiongkok di Hindia Belanda yang berlaku untuk
lima tahun lamanya dan harus diperbarui setiap tahun.[15]
Traktak ini kembali mencerminkan lemahnya Pemerintah Kerajaan
Tiongkok yang selalu mengalah kepada negara-negara Barat. Namun
kalangan etnis Tionghoa yang sedang tumbuh dan berkobar rasa
nasionalismenya menolak WNO dan Traktat tahun 1911 tersebut.
Berkobarnya rasa nasionalisme
di sebagian besar etnis Tionghoa di Hindia Belanda, baik yang
totok maupun yang peranakan mencapai puncaknya dengan runtuhnya
Kerajaan Tiongkok (dinasti Qing) dan berdirinya Republik
Tiongkok pada tahun 1911. Dengan serentak mereka melakukan
kampanye untuk menentang WNO dan mendapatkan kebangsaan Tiongkok,
karena orang Tionghoa di Hindia Belanda merasa dirinya adalah
bagian tidak terpisahkan dari nasion Tiongkok Raya. Karena
merasa dirinya bukan kawula Belanda maka dengan sendirinya
mereka menolak Indie Weerbar, semacam wajib militer (militairy
service) yang dikenakan kepada seluruh kawula Belanda. Mereka
beranggapan bahwa percuma untuk membela kepentingan kapitalis
Belanda, padahal etnis Tionghoa dilarang memiliki tanah. Lebih
baik mereka membela dan mendukung pemerintah nasionalis
Tiongkok, karena kalau Tiongkok kuat, kedudukan etnis Tionghoa
di Hindia Belanda akan lebih kuat dan pemerintah Belanda akan
menyamakan status hukum mereka dengan golongan Eropa.
Namun ternyata kebijaksanaan
pemerintah Republik Tiongkok yang sedang banyak menghadapi
persoalan di dalam negeri sama saja dengan kebijaksanaan
pemerintah Kerajaan Tiongkok sebelumnya. Pemerintah nasionalis
Tiongkok tidak sedikitpun memberikan dukungan atas perjuangan
etnis Tionghoa di Hindia Belanda sehingga mereka gagal
memperoleh hak untuk menolak menjadi kawula Belanda, demikian
juga usaha untuk memperoleh status Eropa diabaikan pemerintah
Belanda dengan alasan akan melukai perasaan golongan pribumi
yang akan menimbulkan pergolakan di Hindia Belanda.
Dalam perkembangannya etnis
Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga :
Yang pro Belanda mendirikan
Chung Hwa Hui dengan corongnya Harian Perniagaan (Siang Po).
Yang Pro Tiongkok dipimpin
Harian Sin Po.
Yang Pro Kemerdekaan
terhimpun di Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan
Liem Koen Hian dengan corongnya Harian Sin Tit Po
Situasi ini terus bertahan
sampai datangnya masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 . Pada
masa revolusi terjadi berbagai aksi-aksi anarkis anti Tionghoa
di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera Utara. Ribuan rumah
orang Tionghoa menjadi korban penjarahan, perampokan dan
pembakaran, demikian juga ratusan orang Tionghoa yang mati
terbunuh dan puluhan perempuan Tionghoa menjadi korban perkosaan,
terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.[16]
Pada masa inilah dimulai
penggunaan pejoratif “Cina” dalam memaki-maki etnis Tionghoa
yang dituduh menjadi agen dan kaki-tangan Nica sebagai usaha
menghina dan merendahkan martabat dan harga diri etnis Tionghoa.
Padahal sebutan Cina yang mengacu kepada “Cina kunciran” telah
lama ditinggalkan kalangan etnis Tionghoa, yaitu sejak
berdirinya T.H.H.K. pada tahun 1900 dan Republik Tiongkok (Chung
Hua Ming Kuo) pada tahun 1911. Pada tahun 1928 untuk menghormati
kemenangan golongan nasionalis yang berhasil menumbangkan
dinasti Qing dan mendirikan Republik Tiongkok yang banyak
mempengaruhi pemimpin pergerakan, dan untuk membalas budi
kalangan pers Melayu-Tionghoa yang banyak memuat artikel-artikel
tokoh-tokoh pergerakan Nasional, dicapai konsensus (kesepakatan)
seluruh pimpinan pergerakan Nasional untuk mengganti sebutan
Cina dengan Tionghoa. Jadi sebutan Tionghoa ini bukan
sekedar sebutan tok yang tidak ada maknanya, seperti yang sering
dijadikan argumentasi berbagai kalangan dalam membela
penggunaaan sebutan Cina dan keengganannya menggunakan sebutan
Tionghoa yang menurut mereka lebih sulit diucapkan.
Di masa pemerintahan Presiden
Soekarno walaupun beberapa kali terjadi usaha-usaha untuk
melakukan tindakan diskriminatif dan rasis yang dilakukan oleh
orang-orang reaksioner tertentu (orang-orang PSI) seperti
program “Benteng Importir”, peraturan pembatasan perusahaan
angkutan dan pergudangan (ekspedisi dan veem), peraturan
pembatasan penggilingan padi (huller) dan “Gerakan Assat” yang
mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya PP-10, namun martabat
dan jati diri etnis Tionghoa masih tetap terjaga. Pada masa itu
etnis Tionghoa dengan bebas dapat mempertahankan dan merayakan
tradisi, adat-istiadat dan kepercayaannya dengan bebas. Demikian
juga bahasa Tionghoa/Mandarin dengan bebas dapat dipergunakan
baik lisan maupun tertulis. Hubungan etnis Tionghoa dengan
penduduk setempat cukup harmonis. Jurang perbedaan di bidang
pendidikan dan ekonomi belum sedalam seperti di masa Orde Baru.
- Bagian
1 |
2 | 3 |
4 |
5 - |